Senin, 10 Mei 2010

Prestasi dalam Bioteknologi, Belajar dari India

India secara selintas mirip dengan Indonesia. Negeri ini masuk lima besar negeri berpenduduk terpadat di dunia, satu peringkat di atas Indonesia. Mempunyai beragam etnis, agama, dan bahasa. Juga ada konflik antar etnis dan agama yang sekarang pun Indonesia miliki. Tapi, persamaan yang paling mudah terlihat adalah, keduanya adalah negara berkembang, di mana jumlah penduduk prasejahtera masih mendominasi statistik penduduk.

Namun, jika kita mau cermati, India ternyata jauh lebih unggul dalam bidang sains dan teknologi. Percobaan kecil bisa kita lakukan. Jika kita browsing ke site data base journal-journal untuk life science, maka akan kita jumpai nama-nama dan afiliasi India sangat jauh lebih banyak dari pada nama-nama Indonesia atau mereka yang berafiliasi Indonesia. Ini jika kita menjadikan jumlah terbitan paper ilmiah sebagai salah satu indikator kemajuan iptek, khususnya life science dan bioteknologi.

Kesadaran akan pentingnya iptek bagi daya saing negara di masa depan telah tumbuh sejak dini. India, adalah salah satu dari sedikit negara berkembang yang menaruh perhatian besar terhadap bioteknologi, setelah bidang ini berkibar di negara-negara maju. Tahun 1980-an India sudah memulai startnya untuk lebih memperhatikan teknologi yang satu ini. Mereka mencanangkan agenda pengembangan bioteknologi dan menggodok kebijakan yang menyangkut teknologi ini. Secara rinci diuraikan bahwa kapabilitas peneliti dalam negeri di bidang immunologi, genetik, dan penyakit menular harus ditingkatkan. Program riset yang menyangkut bioteknologi konvensional seperti aplikasi kultur jaringan untuk pengobatan dan tumbuhan bernilai ekonomi, proses fermentasi untuk mendapatkan antibiotik, sampai perhatian terhadap bioteknologi modern yang sangat baru saat itu masuk dalam agenda itu. Tahun 1986 berdiri departemen khusus yang mengurusi masalah teknologi (Department of Biotechnology, DBT), yang memberikan dana-dana penelitian khusus bioteknologi baik untuk pengembangan SDM, riset, maupun pembangunan infra struktur. Salah satu program DBT yang mendapat perhatian internasional adalah studi tentang variasi genetik dari keberagaman populasi orang India atau Indian Genome Initiative. Sekarang, DBT ini pulalah yang menjadi jembatan antar penelitian di institusi dan sektor swasta dalam mengembangkan bioteknologi domestik.

Nampaknya, usaha India untuk menjadikan biotek sebagai salah satu sumberincome negara mulai membuahkan hasil. Menurut data dari Biotech Consortium India Limited (BCIL, 2001), sedikitnya ada 176 perusahaan swasta domestik yang mulai diperhitungkan dalam skala bisnis besar yang berbasis bioteknologi. Empat puluh persen di antaranya bergerak dalam bidang agrikultur khususnya sebagai penghasil biopestisida, benih, dan kultur jaringan, 25% bergerak dalam bidang kesehatan dan obat-obatan, sisanya bergerak dalam bidang bioteknologi lingkungan. Pasaran industri juga meningkat dari 1,5 milyar rupee (sekitar 300 milyar rupiah) menjadi 2,5 milyar rupee (sekitar 500 milyar rupiah) antara tahun 1999 sampai 2002.Walaupun permodalan industri ini bekerja sama dengan modal asing, tetapi mereka tetap memegang saham lebih dari 50%.

Walau negeri ini acap dilanda konflik yang juga menggoyang stabilitas negara, namun banyak investor asing yang tak surut untuk meninggalkan India. Tak kurang perusahaan biotek Inggris dan Amerika. Mereka tak hanya menjadikan India sebagai pangsa pasar yang menggiurkan, tapi lebih menjadikan India sebagai partner dalam mengembangkan biotek di masa depan. Tak sekedar menjual produk atau license, tetapi bersama industri lokal setempat bersama-sama mengembangkan bioteknologi. Karena mereka melihat keagresivitasan India dalam menguasai bioteknologi. Banyaknya SDM berbakat yang dapat dibayar relatif murah daripada negara maju, banyaknya lembaga riset, melimpahnya keragaman hayati, kemampuan teknologi informasi yang tinggi, plus populasi negara yang bisa berbahasa Inggris nampaknya menambah daya tarik besar para negara rasaksa biotek untuk berinvestasi di sana.

Industri biotek lokal juga menunjukkan prestasi yang mengagumkan. Sebagai contoh Shantha Biotech. Perusahaan ini berawal modal kecil, yang memproduksi hasil biotek orisinilnya. Sekarang, paling tidak sepertiga dari vaksin Hepatitis B yang beredar di pasaran domestik India adalah produk dari Shantha. Dulu, pasaran ini dikuasai oleh vaksin impor yang harganya berlipat. Perusahaan ini pun sekarang bekerja sama dengan perusahaan farmasi raksasa US yang berbasis biotek dalam pengembangan dan pemasaran internasional rekombinasi DNA vaksin Hepatitis-B di masa dekat.

Perkembangan yang boleh dibilang revolusioner yang dicapai India, tak lepas daripada inisiatif pemerintah dalam menumbuhkan infra struktur dan SDM biotek negeri itu. Juga peran pemerintah negara bagian, seperti Karnataka, Tamil Nadu, Andhra Pradesh, Maharastra dan Delhi, sangat besar dalam mendorong para enterpreuner untuk mengembangkan bioteknologi. Pengembangan SDM biotek di masing-masing negara bagian dijembatani secara kontinyu disesuaikan dengan kebutuhan dan pengembangan industri. Sekarang, sedikitnya 62 universitas dan institusi yang menjalankan program pendidikan yang berkaitan dengan bioteknologi dan training keahlian bioteknologi, dari master, doctoral, sampai postdoktoral program yang tersebar di berbagai wilayah negeri. Juga 55 buah lokasi pusat bioinformatik telah didirikan untuk keperluan networking, data base, dan analisa data.

Bisakah Indonesia belajar dari India?

Suatu pertanyaan yang wajar ketika kita melihat prestasi India sebagai negara yang sama-sama sedang berkembang dan bermodal minim. Walau India belum menjadi negara biotek besar di Asia seperti Jepang, namun prestasi yang telah disebutkan di atas telah membuat dunia internasional mulai menghitung-hitung keberadaan India. Rasanya tak berlebihan jika kita harus merasa kebakaran jenggot dan bersemangat untuk mengejar ketertinggalan melihat prestasi negeri ini.

Indonesia tidaklah kekurangan SDM biotek. Indonesia dalam waktu mendatang akan mempunyai lebih banyak SDM yang menguasai biotek yang sekarang tengah menimba ilmu di luar negeri. Tetapi, secara data kasar, distribusi SDM biotek nampaknya lebih terkonsentrasi di lembaga-lembaga riset pemerintah daripada universitas. Hanya universitas-universitas menonjol seperti IPB, ITB, atau UGM yang cukup aktif menjalankan penelitian biotek atau mempunyai program pendidikan yang berkaitan dengan biotek. Sedangkan di luar jawa nampaknya masih memprihatinkan. Apalagi di perguruan tinggi swasta. Perhatian institusi pendidikan tinggi swasta terhadap pengajaran life sciencenampaknya masih sangat minim, seperti fenomena sangat sedikitnya PTS yang mempunyai FMIPA.

Negeri kita juga tidaklah kekurangan daya tarik dalam keanekaragaman hayati. Kita termasuk deretan negeri terkaya dalam biodiversity. Kendalanya mungkin hanya masalah kapital dan koordinasi dalam segi implementasi. Yang kesemuanya berujung pada kemampuan negara kita keluar dari krisis multidimensional yang sedang kita hadapi sekarang.

Jika kita masih merasa santai saja, mungkin ada baiknya kita renungi pernyataan penerima nobel Arther Kornberg yang penulis sadur bebas:

“Impak bioteknologi yang demikian besar terhadap perkembangan industri nampaknya hanya menghampiri negara-negara maju, dan belum dapat diterapkan pada negara berkembang yang kurang infra struktur dan minim modal karena lemahnya industri domestik. Tapi, bagaimana pun, karena masa depan cerah yang dijanjikan teknologi ini, negara-negara ini harus menempatkan dirinya dalam posisi yang dapat diperhitungkan. Karena akan menjadi suatu tragedi, jika perluasan konsep genetik, biologi, dan kimia hanya tersedia untuk sebagian kecil penduduk bumi, yaitu negara-negara maju.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar